Sabtu, Desember 23, 2023

Tentang Membangun Kebiasaan Kecil-Kecil

 Memasuki bulan Desember tahun 2022, saya sempat berfikir dan bertekat: tahun depan harus punya peningkatan atau self improvement, setidaknya di satu saja aspek kehidupan.

Dan kebetulan, pada masa itu saya juga sedang berusaha menamatka sebuah buku berjudul Atomic Habits yang ditulis oleh James Clear.

Buku ini termasuk cukup populer, terutama bagi orang yang suka membaca tema self improvent, self care, dan sebagainya yang punya tujuan untuk menjadikan hidup lebih teratur.

Di dalam buku tersebut dibahas bagaimana cara membangun habit atau kebiasaan baik setiap harinya dalam skala yang kecil-kecil saja dulu untuk kemudian menjadikan habit itu sebagai kebiasaan dan membentuk kepribadian.

Tapi yang menarik bagi saya, buku ini hadir bukan dengan konsep yang muluk-muluk dalam membangun kebiasaan baru. Bukan tipe yang membuat kita harus menciptakan suatu kebiasaan yang besar dan harus amat sangat konsisten melakukannya every single day. Seperti misalnya bagi kita yang tidak pernah atau jarang berolahraga dan punya goal untuk jadi lebih sehat, dalam buku ini tidak diajarkan untuk tiba-tiba kita membangun kebiasaan berupa olah raga selama 2 jam setiap hari karena agar supaya lebih cepat mencapai tujuan atau goal yang diinginkan.

Well, kalau seseorang bisa melakukan dan menciptakan kebiasaan baru yang cukup signifikan dalam kesehariannya seperti itu dan tidak jenuh ataupun kaget dengan hal tersebut sih memang bagus. Tapi masalahnya sebagian besar dari kita, atau lebih tepatnya saya, itu punya kecenderungan untuk "bosan" dan berakhir tidak konsisten jika kebiasaan atau habit yang dibangun itu terlalu ekstrim dan sangat di luar kebiasaan.

Belum lagi, saya yang punya kecenderungan mindset all or nothing itu saat sudah sampai di fase lelah dan mulai tidak konsisten dalam melakukan kebiasaan baru justru akan blaming my own self as lazy dan justru berakhir dengan kesimpulan: saya tidak cocok dengan kebiasaan baru ini, maka lebih baik saya tidak lagi berusaha melakukannya.

Duhh, adakah yang relate dengan saya?

Maka saat saya menemukan buku Atomic Habits ini saya sangat senang. Dalam buku ini kita justru diajarkan untuk membangun habit itu dari hal-hal yang kecil saja dulu. Sepertu namanya, atom, yang merupakan bagian terkecil dari suatu materi, ya kan?

Dalam buku ini dijelaskan bahwa dengan teknik membangun habit yang kecil-kecil saja dulu, ini membuat diri dan mindset kita jadi lebih merasa terbiasa dan tidak terlalu terbebani dengan perubahan kebiasaan yang terlalu drastis.

Di samping itu, setiap kebiasaan kecil yang kita bangun ini juga harus dibuat semenyenangkan mungkin. Kita juga bisa "menyelipkan" kebiasaan kecil itu dalam kebiasaan-kebiasaan yang sudah kita lakukan sehari-hari sebelumnya sehingga tidak terasa terlalu asing.

Misalnya seperti dalam hal membangun kebiasaan olah raga tadi, instead of terlalu menyetting mindset kita dengan kata "aku harus olah raga selama 2 jam sehari dan jika tidak melakukan maka aku gagal", tips dari buku ini adalah kita hanya perlu berpikir "aku akan melakukan pemanasan 10 menit setiap bangun tidur".

2 jam dibanding 10 menit, tentu akan terdengan dan terasa lebih mudah dilakukan yang 10 menit sih ya.

Tips lain yang bisa dipraktikkan dalam membangun habit adalah dengan menjadikan habit kecil tersebut menjadi hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Misalnya sebelum olah raga 10 menit itu tadi kita minum kopi dulu untuk boost energi (sebaiknya tanpa gula ya), sebelum olah raga kita ganti baju dulu dengan baju workout yang nyaman. Lalu setelah pemanasan ringan kita mulai melakukan olah raga inti, seperti misalnya angkat beban dengan beban tubuh sendiri atau mulai pakai beban yang mudah ditemukan seperti dumbell.

Loh, kok ada olah raga inti? Tadi katanya hanya pemanasan 10 menit?

Iya. itu adalah fase lanjutan setelah fase pemanasan 10 menit menjadi kebiasaan. Secara natural tubuh juga akan merasa sudah terlalu terbiasa dengan yang 10 menit tadi dan akhirnya nambah porsi waktunya. Pelan-pelan akan terbangun kebiasaan olah raga dari yang sebelumnya 10 menit jadi 30 menit, bisa nambah jadi 1 jam, bahkan 2 jam. Tapi 2 jam yang kali ini akan terasa lebih menyenangan karena dibangun secara perlahan namun konsisten dibandingkan dengan 2 jam yang dibangun dengan mindset "all or nothing" tadi.

Lalu, bagaimana jika tidak bisa melakukannya persis setiap hari? Bagaimana jika ada bolong-bolongnya, atau bahkan bolong hingga berminggu-minggu?

Hmmm, jika demikian, yang harus dilakukan adalah:

  1. Maafkan diri sendiri dan jangan terlalu menyalahkan diri apalagi nge-judge bahwa diri ini tidak layak punya kebiasaan baru yang baik.
  2. Segera balik lagi melakukan kebiasaan yang sudah dibangun pelan-pelan. Balik lagi ke step awal dan jadikan kebiasan itu semudah dan semenyenangkan mungkin untuk dilakukan.
  3. Enjoy the process.

Ya begitulah, sebagai manusia tentu kita bukan mesin atau robot yang bisa sangat saklek dan berfungi secara precise sepanjang tahun. Pasti akan ada fase kita berhalangan untuk melakukan suatu habit. Dalam olah raga misalnya, kita mungkin ada di fase tidak bisa melakukannya setiap hari karena sedang sakit, sedang sangat sibuk dan tidak ada waktu, atau justru karena sedang malas saja.

Ya sudah tidak apa-apa, nikmati fase tersebut. DENGAN CATATAN, segera move on ke poin 2: segera kembali ke habit yang sedang dibangun.

Biasanya, jika sesuatu telah menjadi habit yang kita usahakan setidaknya selama 21 hari bagkan 90 hari, maka habit tersebut secara natural telah menjadi bagian dari kepribadian kita. Sehingga tubuh dan mindset kita pun justru akan merasa kurang jika tidak melakukan habit tersebut terlalu lama.
(Kecuali jika tidak justru membebalkan diri terhadap sinyal tubuh dan otak kita ya, yakni saat tubuh dan otak kita minta kita untuk kembali ke habit kita justru menunda-nunda dan justru balik ke mentalitas all or nothing tadi).

Cerita tentang membangun habit berolah raga ini sebenarnya adalah cerita saya pribadi ya. Ini memang goal yang saya targetkan mulai tahun 2023 ini. Dan kebetulan dalam perjalanannya beberapa teman saya juga ikut "nimbrung". Walaupun pada praktiknya 4 dari 5 orang yang menyatakan dirinya mau ikut bergabung bersama saya membangun habit untuk olah raga akhirnya tidak pernah update dan laporan lagi ke saya terkait worout rutin mereka๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜…

But it's okay, mungkin teman-teman saya masih terjebak, mungkin mereka belum memaafkan dirinya seperti pada poin nomor 1 dan terlebih belum move on ke poin nomor 2 tadi, yaitu untuk balik lagi ke membangun habit kecil-kecil.

Saya pun juga sering mengalaminya. Terkadang sampai hampir 3 minggu diserang virus penyakit malas dan procrastinating akut yang membuat saya berada di luar jalur kebiasaan.

So, bersama tulisan ini juga saya bilang ke diri sendiri dan juga teman-temanku: yuk kita move on dan balik lagi ke jalur.

Mumpung ini hampir penghujung tahun, maka biasanya ini waktu yang tepat untuk menulis resolusi-resolusi untuk tahun depan. Dan tentu saja ini bukan hanya tentang olah raga. Ini bisa tentang apapun goal yang ingin dicapai dan habits yang ingin dibangun oleh setiap individu.

Yuk, kita bikin resolusi untuk membangun kebiasaan-kebiasaan kecil-kecil lagi di tahun depan dan kali ini harus disertai kesadaran untuk bisa move on ke poin 2 segera setelah kita merasa sudah melenceng dari jalur.

Cheers ๐Ÿป๐Ÿป


Ps: untuk tahun depan aku ingin menambah habit terkait writing.
I mean it's been too long I don't make the proper time for this. I badly miss it and I need to sneak this habit into my daily routine because I have many abandoned works to be resumed.

Minggu, Oktober 22, 2023

Seribu Dian

sebuah puisi yang frasa judulnya diilhami dari penggalan lirik lagu campur sari yang akhir-akhir ini viral kembali dan banyak dibuat dance covernya: Taman Jurug.

....  lir sewu dian anglerap nggugah kenangan ...

 

Seribu Dian

 

malam ini seorang kekasih datang padaku membisikkan bahwa seribu dian akan disulut di alun-alun, dari segala penjuru ribuan perempuan memanggul teplok di kepalanya, memendarkan warna-warni cahaya yang barangkali dicuri dari jutaan bintang, sebab di langit kini kosong,

—atau kunang-kunang?

 

bocah-bocah riuh mengulur sumbu yang mereka wedar dari segulung bulan bulat di puncak cemara, satu-satunya yang tersisa, aku tak menemukan kekasih lain selain kekasihku, syair dan kidung tentang asmara sudah lama tak terdengar di kota ini,

 

lewat tengah malam, yang tak lagi ditandai bulan, seribu dian telah disulut di alun-alun, ribuan perempuan memeluk agar bocah-bocah tak kembali penasaran dan usil mematikan nyalanya, sebab, lagi-lagi, di langit kini kosong.

 

namun tiba-tiba, di situ, di puncak mezbah kulihat kekasihku terbaring, seorang perempuan menghunuskan belati tepat di jantungnya, aku berteriak, berontak, namun suara dan tubuhku tak ke mana, seribu perempuan menatapku dengan iba yang terlampau biasa, sebab mereka kini memeluk nyala teploknya sendiri-sendiri,

 

di tanganku sebilah belati menjelma sebentuk dian, darah anggur berleleran menjelma cahaya merah yang mahaindah bagai habis dikecupi jutaan gemintang

—mungkin kunang-kunang

 

pada bibirku terukir sebentuk senyum saat kucumbui jantung kekasihku, memasukkannya pada celah dadaku untuk kulahirkan kembali nanti, dan seribu dian akan kembali disulut, lewat belati yang menghujam jantung kekasihku.

 

 2020-2022



Mamaknai Hari Santri Nasional dalam Konteks Kedirian Kita Sendiri

 Sejak tahun 2015, pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal 22 November sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan yang berlandaskan hukum pada surat Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 ini memang terbilang baru. Namun tentunya memiliki makna dan semangat yang hendak ditularkan.

Dalam upacara peringatan Hari Santri Nasional 2023 di Tugu Pahlawan Surabaya, Presiden Jokowi menyampaikan bahwasanya semangat Hari Santri harus tetap digelorakan dengan melihat konteks kekinian. Lebih lanjut, Jokowi menambahkan salah satu konteks kekinian yang dimaksud adalah dari segi kesiapan dalam menghadapi krisis pangan akibat adanya perang di Ukraina serta Palestina.

Namun, sebelum kita membahas terlalu jauh dari semangat Hari Santri yang disinggung oleh presiden Jokowi, saya ingin mengajak kita untuk memaknai Hari Santri ini dalam konteks yang lebih personal, yakni bagi diri kita masing-masing.

Mari kita buka bahasan ini dengan pertanyaan: Mengapa Hari Santri harus dirayakan dan diperingati secara nasional?

Bukankah secara hierarki dalam konteks pesantren, santri itu adalah murid dan umumnya justru tunduk pada Kiai yang merupakan gurunya? Kenapa tidak diperingati hari Kiai saja? Mengingat pastinya Kiayi punya ilmu yang lebih “mumpuni” ketimbang santri.

Namun setelah saya renungkan dan membaca beberapa sumber mengenai mengapa hari santri ini layak diperingati dan digelorakan semangatnya, saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan: semangat hari santri adalah gairah belajar (yang hendaknya kita jaga untuk terus bergelora dalam diri kita).

Dari segi bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “santri” diartikan sebagai orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; serta orang yang saleh.

Dari makna leksikal tersebut, mari kita garis bawahi pada “orang yang mendalami” dan “orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh”. (Sengaja tidak saya kutip bagian “agama Islam”, karena saya ingin pemaknaan Hari Santri ini juga berlaku secara universal untuk setiap insan, bukan hanya yang belajar agama Islam, serta bukan hanya yang memeluk agama Islam.)

Santri adalah orang yang belajar atau mendalami ilmu dengan sungguh-sungguh. Dalam konteks Islami, santri adalah sebutan yang umum untuk menyebut pelajar yang belajar ilmu agama di pesantren. Namun jika ditarik dalam konteks universal, santri adalah seseorang yang belajar. Seseorang pembelajar yang punya semangat untuk mengenyam ilmu, baik agama atau apapun itu, dengan sungguh-sungguh.

Maka saya kira, salah satu makna serta semangat Hari Santri yang paling esensial dan fundamental bagi diri kita adalah bagaimana kita menumbuhkan serta merawat gairah untuk terus belajar dan punya semangat untuk mengembangkan diri dengan mendalami ilmu.

Dengan mengambil semangat belajar ala santri, kita akan selamanya mengobarkan jiwa seorang pemuda dan pembelajar yang selamanya haus akan ilmu yang baik dan bermanfaat.

Selamat Hari Santri 2023, Pemuda Indonesia!

Senin, Oktober 16, 2023

Tentang Perpustakaan yang Kini Tertutup

 

Beberapa saat lalu, aku memposting sebuah story whatssapp berupa buku-buku yang dijajar sembarangan di bangku pasca insiden rubuhnya rak serbaguna yang memang sudah terlampau rigkih untuk menampung buku-buku.

Namun satu hal yang menarik perhatianku adalah komentar salah seorang kawan lamaku. Dia menulis: “Aku kangen i moco novel. Wes suwi gak moco novel.” (Aku kangen baca novel. Sudah lama gak baca novel)

Ps: Well, memang mayoritas bukuku adalah novel ya.

Lalu dari situ obrolan kami berlanjut ketika aku membalas kenapa dia tidak pinjam buku di perpustaan sekolah tempatnya mengajar saja (temanku ini guru di sebuah sekolah swasta)? Karena sepengalamanku, biasanya di perpustaan sekolah-sekolah juga menyediakan bacaan berupa novel-novel. Dan aku ingat dulu, saat jaman masih sekolah, aku suka sekali pinjam-pinjam buku di perpustakaan.

Tapi kemudian temanku menjawab: “Tidak boleh. Perpustakaannya selalu dikunci.”

Dheg! Aku sedikit kaget dengan jawabannya. Kok bias perpustakaan di sekolah swasta (yang kupikir cukup bonafide) selalu dikunci? Lalu kalau ada yang pingin baca-baca buku, entah itu murid atau bahkan guru, bagaimana?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya kulontarkan padanya.

Kemudian ia jawab lagi: "Memang gitu aturannya. Anak-anak kalau masuk dan pinjam buku harus ijin dulu. Tapi juga gak boleh baca novel atau buku cerita. Bolehnya baca puku pelajaran."

Membaca jawaban temanku, aku dilanda dheg lagi, tapi bukan karena kaget. Melainkan karena aku merasa betapa …. Duh, apa ya kata yang tepat untuk menggambarkannya. Terlalu sadis untuk disebut “miris”, tapi memang hampir. Atau mungkin akan kusebut saja “kering”.

Ya, betapa keringnya fakta bahwa anak-anak tidak boleh membaca selain buku pelajaran.

Aku pernah mengalami ini. Ibuku dulu punya pandangan bahwa buku yang layak dibaca adalah buku-buku pelajaran saja. Namun untungnya, di masa aku sekolah dulu, aksesku ke perpustakaan-perpustakaan sekolah yang menyediakan bermacam buku sangatlah mudah. Sehingga aku tidak pernah kesusahan untuk dapat buku-buku bacaan yang kusuka seperti buku cerita bergambar, majalah, ensiklopedia, juga novel.

Tapi bagaimana dengan anak-anak jaman sekarang ini?

Kemudian ingatanku juga melayang pada beberapa bulan sebelumnya. Tepatnya pada bulan Juni tahun ini (2023). Aku sempat mengunjungi sekolah lamaku, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Salah satu tujuanku di masing-masing sekolah itu adalah mengunjungi perpustakaan.

Namun sayang, di kedua sekolah itu perpustakaannya dikunci rapat dan aku hanya bisa mengintip melalui jendela kaca. Ya, memang sih, saat aku ke sekolah saat itu sudah minggu-minggu bebas setelah ujian kenaikan kelas dan bahkan siswa-siswa SMP sebagian sudah liburan. Sehingga, saat itu, kupikir cukup wajar bila perpustakaan-perpustakaan itu dikunci rapat.

Tapi ada satu hal yang juga mengangguku saat itu. Melalui jendela kaca aku melihat kondisi perpustakaan yang jauh berbeda dari masa aku masih bersekolah dulu. Bukannya tampak makin bagus dan rapi, melainkan sebaliknya. Beberapa rak dan buku tampak jauh lebih kusam, dilapisi debu tebal. Semuanya tampak tak lagi tersentuh tangan manusia untuk waktu yang cukup lama. Apakah memang demikian adanya? (Padahal aku ingat betul ada banyak sekali buku-buku bagus dan menarik di perpustakaan-perpustakaan sekolahku)

Apakah perpustakaan sudah jadi tempat yang tidak menarik lagi untuk dikunjungi? Atau kasusnya seperti di sekolah tempat temanku mengajar: perpustakaan bahkan menjadi tempat “tereksklusif” yang perlu ijin ribet bahkan untuk sekedar dimasuki para siswa karena harus ijin dulu?

Aku melihat kedua kasus ini sebagai bentuk kontradiktif dengan seruan-seruan “Peningkatan Budaya Literasi” yang sering digaung-gaungkan orang-orang. (Bahkan aku yakin temanku ini pernah memposting sebuah poster dari sekolah tempat ia mengajar dengan seruan yang serupa).

Rasanya sedikit tidak pas gituloh. Saat yang digaungkan adalah peningkatan budaya litarasi which is membaca (khususnya), tapi salah satu sarana, tempat banyak bahan bacaan bisa ditemukan, justru tidak dioptimalkan. Bahkan di titk mirisnya dibiarkan terbengkalai.

Dalam bayanganku, jika yang diinginkan adalah generasi yang cinta membaca dan suka buku, maka fasilitas publik seperti perpustakaan, khususnya di sekolah-sekolah itu dibuka lebar-lebar. Setiap anak dibiarkan memilih buku yang disukai untuk dibaca.
Bukan demikan harusnya? Bukankah begitu harusnya budaya literasi ditanamkan?

Tapi kenapa perpustakaan justru ditutup dan terabaikan?

Apakah guru-guru di sekolah saat ini juga sudah putus asa untuk menanamkan kegemaran membaca dalam diri para siswanya? Mungkin saja mereka sudah menyerah karena banyak anak jaman sekarang lebih suka mengelus layar ponsel ketimbang membolak-balik lembaran buku bacaan.

Atau, justru orang-orang jaman sekarang memang sudah modern dan buku-buku fisik mulai dipindah menjadi buku-buku digital.

Ya, ya. Mungkin begitu. Aku akan mencoba berpikir demikian saja. Karena akupun mulai banyak mengumpulkan file-file pdf buku-buku bacaan.

Ah, tapi betapa menyenangkannya kalau perpustaan-perpustakaan tetap jadi tempat yang mudah diakses. Karena sungguh, membaca di perpustakaan lebih nyaman ketimbang membaca di taman atau trotoar. Ups!

Selasa, Juli 12, 2022

Yumi’s Cell: A Representation of How Human Mind’s Work

Yumi’s Cells, a korean drama that base on a popular webtoon with same tittle is making a hit now. This series is currently airng their second season every Friday as an original series from Tving, an OTT platform from South Korea.

Unfortunalety, for the international viewers, it’s kinda diffecult to watch this series legally since this series only available in TVing –which only provide regional service in South Korea— and at Rakuten Viki –which only available in few countries. (Note: the first season is available in Viki and Iqiyi for international fans.)

Nevertheless, this series still become a hit and trending topic among fans and kdrama-lovers all around the globe every weeks.

So, what’s great from Yumi’s Cell?

Firstly, I will say that this drama is truly most fresh drama you’ll find nowadays. This drama is a combination between live action and annimation. And this is actually the first korean drama series that using this combination.

The drama portray a story of Kim Yumi, an ordinary woman, a office worker turn to be writer, in her thirties, and cells in her head –in her mind.

Yes, through the drama You’ll peek, enter, and look around into Yumi’s village which actually represent Yumi’s mind in her head. There are so many cells in there that you can meet, such as: Emotional cell, Rational cell, Anxiety cell , Love cell, Jinx cell, Hunger cell, Lust cell, Fashion cell, Cheapskate cell, Detective cell, Writer cell, and even the cells that represent body part such hand cells, tongue cell, and any more.

All these cells take in charge to every feelings, thoughts, and actions Yumi feels and acts in her whole life, every single time. All the cells talk and communicate to each other and work to build Yumi’s mind and body response towards everything.

In sort, the cells’ village is a representation of how human’s brain or mind works.

Are the cells always agree and in one unite voice?
Of corse not. Not always. You’ll find that there are so many argumentations among the cells. They discuss and argue about almost everything, every feelings, till how to respons a situation Yumi faced in her whole life. They discuss and argue whenever Yumi is in the middle of options, like which one she’ll choose. In example, Fashion cell will argue with Cheapskate cell will argue wether Yumi should buy a new clothes or save the money instead. Even when falling in love,the cells are also discuss and even debating among each other and they give their opinion about the man Yumi loves.

The crowded in the cells’ village is the good image to represent our mind –Human’s mind/brain— whenever we have so many thoughts, questions, or even feeling that make our mind feel so full.

Another example, when Yumi experienced a broken heart or sadness, the village will be hit by dissaster such as heavy rain, storm, and sometimes heavy floods that swept everything. The disaster that represent a broken-heart and sadness moment experienced by human.

In her life, through the dynamics of the cells interaction and decission, of course Yumi not always make a wise and mature or even best choice in her life. She experienced failures, wrong decission, show immaturity of thoughts, and even something that could be labelled as stupidity. And all that’s normal.

Yumi is not a Saint and not a perfect human being, not a master to give people (the vievers) best example to choose the best thing and having the best thoughts in mind. Yumi is a whole human, an ordinary human that able and allowed to has some flaws, but also trying to be and do the best. Yumi and her mind is growing.

Watching Yumi and the cells in her mind should be a really interesting thing to peek into human’s mind and took a lesson to understand it. And in bigger picture, we, he viewers can reflect it to try to know our own mind, how it’s work, and maybe talking with ourselves more.

And even though Yumi is the main character, Yumu’s Cells drama also give us the chance too peek into the other characters’ mind, such as Woong and Babi who both were once had relationship with Yumi’s, and even the other supporting characters like Saeyi and Ahn Daeyeong. These every caracter’s village has their own uniqueness and the diversity about the way they thinking, the way their mind works.

One example, if you looked into Woong’s village, his mind was so different from Yumi. Woong’s village has a distinc function that work like an AI, using algorithm, and the why they portray his way of thinking waslike always using chart, schematic order, and even diagram to show how Woong think about something or some situation before manifesting it into a real reactions or act. This is so good that Woong’s village really represent his personality and really make sense with his background as a game programmer.

As for Babi’ village. Actually, the environment of Babi’s village was really similar to Yumi. Babi’s Emotional Cell even showed as a girl who use a flower har pin. It give me the impression that actually Babi is man that really soft and has such a feminine side in him. And that was true, through all his action and even the way he spoke and communicate, we can conclode that Babi is indeed has a great feminine side in him that make him to be a very soft, affective, and emotional person.

Watching Yumi’s Cell, can lead us into a journey to the within of our own mind, to know and cummonicate with ourselve better. One quotes from Yumi’s Cells that really make me like and considered this drama as the best self-empowerement drama that give me a lesson to love myself more: “You’re the main character in this story.

Means that every one, every people, and every name is the main character in their own life. It’s okay to be not okay, it’s okay to have flaws and scars. But please love yourself. Make time to talk with your own self and mind, your inner, your entire body, and love them. Your body, cells, and every organs in you are working hard to support your life and your well being.

From this drama, we can learn many things, the journey to know ourselves better, the jorney to master our own mind and self motivations, and even how we interact with other people,  in daily life, in relationships, including how we deal with other people in such situations, problems and obtacle, or just mere a light interaction. It give us  such a perspective how human’s mind works and took a lesson from it so we can implemented it to be more aware about our mind and can improve orselve to be better person, more mature and wiser.


Sabtu, April 09, 2022

Hello

It's been ages I'm not writing here.
Many things happened, and now I don't even know how to start to tell and write down the stories here, LoL

But I think I'll start with: My Dad passed away, right twenty five days ago.

Yes. That was ono of the most shcking reality for me.
Everything happened so damn fast, unexpected.

I mean, a part of me already axpected about wether him or I will die first, but when that actually happened, another part of me was shaked and shocked.

That was crazy day that I could even move or stand by my own. My mindwas clear and aware with anything happened around me, but my whole body felt weak and just don't want to move or even function. I just completely lied on bed, cried out the heavy feeling in me, created a scenes for people around me to watched and look me pitifully and I didn't even care.

It took me two days to collect my sense and at the third day I already felt I was okay. Or at least I could [rocess anything just happened .

But still, even until now the traces of my Dad still linger on my mind and every part of this house.
I still can remember his look for the last time, how he laid unconfortably when I found him breathless that morning, anything.

I want to cry, but I think I also don't want too.

Another story from me is, now I'm in the middle of mapping my mind and repairing myself, my life, my habbits, and my mindset.

I'm in the middle of learning how to learn.
I'm in the middle of taking care and programming my mindset.

I read Limitless book by Jim Kwik and learn to follow his every tips in Kwik Start segments.

Oh, and right now, I have my best friend, spirit friend sitting right beside me.
She came to my house two days ago and will go home tomorrow.

I'm happy she's here. When we are together, we can manage and do our own bussiness and not talking, but also when we talking together we can really talk with no phones. In other words, she's being here already make me happy.

Jumat, Juli 23, 2021

Mr. A dan Simbol Ketertolakan

 Senormalnya remaja pada umumnya, aku pun sempat mengalami apa yang disebut sebagai cinta pertama di masa remaja. Dia adalah seorang kakak kelasku ketika SMA, berinisial VTA, yang selanjutnya akan aku sebut sebagai Mr. A.

Mr. A tepat satu tingkat di atasku. Pada saat masuk SMA, awalnya aku tidak tahu dan sama sekali tidak kenal siapa Mr. A ini, tapi beberapa kali sempat dengar namanya saat teman-teman satu kamarku membicaran dia. Menurut teman-teman, Mr. A ini termasuk kakak kelas yang hobi ngecer (hhmmm, bingung juga menerjemahkan arti ngecer itu sendiri, tapi mari sederhanakan saja artinya menjadi: orang gemar tampil di depan dan suka menjadi pusat perhatian dan menebar pesona), selain memang karena dia sangat aktif dalam kegitan sekolah dan dia memang ada di posisi strategis sebagai anggota OSIS dan jajaran pimpinan panitia MOS saat itu.

Tapi aku mulai mengenal dan tertarik pada Mr. A justru bukan saat masa orientasi itu. Aku mulai mengenal Mr. A sekitar tiga atau empat bulan pasca resmi masuk SMA dan aku mulai aktif juga sebagai anggota OSIS. Aku mulai sering melihat dan bertemu dia saat ada rapat OSIS. Bahkan awalnya aku sempat akan masuk ke divisi yang dia pimpin, tapi aku menolak dan memilih divisi lain (sebuah pilihan yang dulu sempat kusesali kenapa gak milih divisi Mr. A )

Sejak mengenal Mr. A, aku mulai tertarik karena dia kelihatan sangat pintar dan sangak aktif, dan lagi dia juga satu dari sedikit siswa di SMA ku yang cukup aktif dalam bidang sastra, dia gemar menulis puisi dan cerpen serta rubrik bulanan yang yang dipasang di mading serta artikel yang dimuat di majalah sekolah. Kesukaannya pada puisi dan cerpen inilah yang menjadi jembatanku dan dia. Seiring berjalan waktu kami jadi berkomunikasi tentang itu lewat inbox facebook.

Entah bagaimana prosesnya, seiring berjalan waktu aku jadi mulai baper ke Mr. A ini, karena dia jadi baik dan cukup dekat, padahal aku juga tahu dia juga dekat dengan mbak kelas, bahkan teman seangkatanku juga. Intinya, sebenarnya tidak ada yang spesial di antara aku dan dia lebih dari dia dengan yang lainnya. Bahkan mungkin sebenarnya justru dia dekat dan TTM dengan orang lain, tapi bukan aku.
Tapi aku tahu aku beneran suka sama Mr. A. Aku mengalami apa yang namanya lidah kelu, dada deg-degan, dan pipi panas, bahkan sampai kaki lemas saat bertemu Mr. A ini. Duuhhh pokonya gag banget lah kalau diingat.

Aku bertahan dengan perasaan suka—atau cinta monyet— ke Mr. A selama lebih dari satu tahun lamanya. Heboh sendiri dalam diam saat berinteraksi, blushing saat Mr. A memanggil namaku. Hal-hal konyollah pokoknya. Tapi aku tidak pernah bisa membaca Mr. A. Sampai pada bulan April 2014, setelah aku bertahan dengan rasa suka itu selama lebih dari satu tahun, aku memutuskan untuk bilang Mr. A bahwa aku suka dia. Salah satu pertimbanganku adalah saat itu Mr. A sudah hampir lulus dan pasti dia akan melanjutkan studinya, dan aku tidak yakin akan sempat bertemu lagi dengan Mr. A setah dia lulus. Maka suatu hari, kuberanikan diri dan kutetapkan tekad untuk bilang ke Mr. A tentang perasaanku. Pokoknya yang ada di pikiranku saat itu: setidaknya, Mr. A harus tahu dan aku tidak mengharapkan balasan atau apapun itu. Dan dengan itu, maka kutuliskan sebuah surat buat Mr. A yang kukirim lewat inbox facebook.

 

Butuh waktu dua kali 24 jam buat Mr. A merespon pesanku. Dia awali pesannya dengan Bismillahhirohmannirohim. Dia bilang dia tidak tahu bahwa aku punya perasaan seperti itu, dia berterima kasih aku telah punya perasaan seperti itu padanya, bahkan dia juga minta maaf semisal ada ada tingkah atau perlakuaanya yang mungkin men-trigger-ku untuk bisa punya perasaan seperti itu.
tapi hanya sedemikan itu saja, karena jelas tidak pernah ada harapan untuk aku dan dia. Aku paham itu, aku maklum dan aku sadar. Maka kukatakan padanya aku pun paham posisi kita dan tidak berharap apapun. Satu-satunya harapanku adalah aku ingin tetap berteman.

Tapi ternyata semua tidak berjalan seperti harapanku. Karena kesibukan dan hal-hal lain, komunikasiku dengan Mr. A kian waktu kian surut. Mr. A pun juga jadi menjaga jarak denganku, jauh lebih berjarak timbang sebelum aku nekad.

Aku maklum. Aku tidak marah. Bahkan cenderung menyalahkan diri sendiri karena aku terlalu gegabah. Dan lambat laun, perasaanku justru berubah menjadi rasa tertolak dan terabaikan.

Semakin waktu berjalan, aku mencoba beberapa kali menyapa, kira-kira pasca aku dioperasi dan di awal-awal kuliah. Tapi jelas, respon yang kudapat sangat amat jauh lebih forml dan ala kadarnya dibanding saat dulu kita masih satu SMA. Dan lagi, aku jadi makin baper dan rasa tertolak dan terlupakan itu kian membesar. Tidak menimbulkan kemarahan atau emosi meledak lainnya, tapi pelan-pelan bercokol masuk ke alam bawah sadar. Di tambah lagi, setelah Mr. A, aku belum pernah mengalami jatuh cinta lagi yang terasa seperti jatuh cinta. Rasa tertarik ke beberapa nama juga tidak pernah terasa seperti rasa suka ke Mr. A dulu. Jadi aku mulai percaya bahwa aku belum pernah lagi jatuh cinta setelah dengan Mr. A.

Nahh, kembali ke “perasaan terlotak” yang dipicu oleh ekspektasiku atas respon Mr. A yang tak tercapai. Pelan-pelan perasaan itu masuk ke alam bawah sadarku, dan termanifestasi dalam mimpi. Aku sadari, aku beberapa kali memimpikan Mr. A, baik dengan skenario yang menyenangkan maupun yang tidak begitu membahagiakan. Namun keduanya sama saja, sama-sama menimbulkan rasa kecewa tiap kali aku bangun karena mau tidak mau aku harus kembali mengingat Mr. A.  Aku mulai marah, aku mulai jengkel. Kehadiran Mr. A di mimpiku selalu mengingatkanku pada perasaan tertolak dan terabaikan. Aku tidak mau mengingat dia dengan cara demikian.

Hingga beberapa hari lalu, Mr. A kembali masuk ke mimpiku, dan aku terbangun dengan perasaan tidak karuan, ada kesal, ada marah, ada kangen, ada gembira juga. Pokoknya jadi tidak nyaman. Aku sempat cerita pada Ratu, dan seperti biasa di mulai memancingku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku mau tidak mau mempertanyakan diri dan trayeek pikiranku sendiri. Dan memang itu yang kubutuhkan untuk menguraikan jalan pikiran dan alur emosiku sendiri. Dengan kata lain, mengenali diri dan perasaanku sendiri.

Lalu aku putuskan untuk duduk diam, menarik nafas, dan mulai sedikit menganalisa kehadiran Mr. A di mimpiku. Mempertanyakan mengapa dia kerap hadir padahal aku tidak memikirkannya dan tidak pernah lagi berinteraksi.

Maka setelah kuingat-ingat lagi momen-momen atau fase hidup apa yang kualami tiap kali Mr. A muncul di mimpiku, aku memperoleh kesimpulan bahwa ia hadir di saat-saat aku mengalami fase “penolakan”. Fase atau momen di mana aku baper karena merasa tidak punya siapa-siapa, momen saat aku bernafsu ingin dekat dengan seseorang dalam lingkup pertemanan tapi aku merasa ternyata aku tidak sepenting itu atau sedekat itu bagi mereka.

Dengan kata lain, sebenarnya kehadiran Mr. A itu bukan murni sebagai Mr. A melainkan sebagai manifestasi perasaanku dan emosi negatifku sendiri.

Sama halnya aku dengan semena-mena menempatkan Mr. A sebagai sosok antagonis dalam kisah cinta pertamu kaena dia menjauh pasca aku menyatakan perasaan. Padahal, sebenarnya aku saja yang kelewat baper (baik sejak momen aku mulai jatuh cinta, mulai memndam cinta, hingga momen nekad menyatakan cinta). Aku tidak pernah benar-benar berdialog dengan Mr. A, baik secara fisik maupun energi tentang hal ini, tapi aku hanya terfokus pada pesepsi dan perasaanku sendiri.

Ini bukan soal Mr. A, melainkan soal aku yang ternyata masih kurang peka terhadap perasaanku sendiri. Aku masih terseok dan tertatih untuk mengatur lingkaran-lingkaran porsi dalam peta perasaan dan pikiranku sendiri. Nahas untuk Mr. A, dia harus muncul dalam mimpiku sebagai manifestasi dari perasaan “tertolak dan terabaikan” dari alam bawah sadarku.

Mas A, maafkan aku yaa...

Aku akan belajar lagi untuk tidak mengkambinghitamkan orang lain atas ekspektasiku yang tak sampai dan juga atas tingkat baper-ku yang seringnya, tanpa kusadari, melampaui batas wajar.

Senin, Juli 12, 2021

Pandemi sedang mengukir sejarahnya

Di masa depan tragedi pandemi covid-19 yang dialami seluruh bagian dunia ini akan dikenang sebagaimana orang akan mengenang Perang Dunia.

Per hari ini (Juli 202) Indonesia telah memasuki masa pandemi virus covid-19 atau korona selama satu tahun empat bulan, dihitung secara kasar. Dan itu artinya secara global umur pandemi virus ini lebih lama lagi mengingat virus pertama terdeteksi di Wuhan China pada 2019.

Satu tahun berlalu, tapi kondisi tidak makin membaik, justru makin terpuruh dan chaos. Dan sedihnya lagi, bukan hanya di Indonesia, melainkan hampir di sebagian besar dunia.

Selain karena virus itu sendiri, kengerian dan chaos juga dipicu oleh keriuhan baik secara real maupun di dunia Maya yang malah makin tak terkendali. Ada yang chaos dan kalang kabut karena kasus positif dan kematian karena covid makin membludak, ada yang masih riuh karena berita konspirasi, ada pro-kontra serta cerita-cerita hiperbola terkait vaksin, belum lagi pagรชblug yang menimpa banyak daerah.

Bicara soal kematian, di desaku sendiri dan desa-desa di sekitar juga tak luput dari tragedi pagรชblug. Banyak sekali berita duka, bahkan hampir setiap hari. Memang bukan karena kasus covid, tapi banyak nyawa tumbang yang mayoritas karena penyakit menahun yang diderita.
Apakah dunia dan bumi sedang membersihkan dirinya dengan mengurangi jumlah populasi manusia???

Lain di real life lain pula di sosmed, hampir tiap kali membuka sosmed dan grup-grup wa alumni sekolah, juga hampir selalu ada saja berita duka. Semua serasa seolah-olah kita memang sedang berperang dan bertaruh antara hidup dan mati.

Situasi pandemi benar-benar sedang mengukir sejarahnya.

Jumat, Juli 02, 2021

Hospital Playlist: Hiburan, Pelajaran, dan Nostalgia

 Penggemar serial drama Korea pasti tidak asing lagi dengan drama ini, Hospital Playlist karya Shin WonHo PD-nim dan Lee EungBok chakka-nim. Drama ini sendiri saat ini telah memasuki season kedua dan Kamis 1 Juli kemarin telah menayangkan episode ke-3. Sedangkan untuk season pertama telah tayang pada April tahun 2020 dengan total 12 episode.

 

Secara pribadi, aku memang penggemar drama-drama karya Shin PD sejak era Reply series hingga Prison Playbook. Drama-drama karya Shin PD terasa spesial dengan ciri khas relationship yang beda dari drama lainnya, drama-dramanya umumnya menonjolkan tentang kekeluargaan, pertemanan, hubungan sosial antar manusia yang dipotret sebagai sebuah keselarasan dan kemanisan. Namun demikian, Hospital Playlist punya arti lain bagiku di samping memang aku penyuka genre medis yang tiap-tiap tokohnya saling unjuk skill.

 

Hospital Playlst membawa sebuah nuansa nostalgia bagiku terkait rumah sakit, pasien menunggu jadwal operasi, rawat inap, serta pandanganku terhadap para orang tua, utamanya ibu-ibu yang mengantar atau menunggui anak-anaknya yang sedang sakit di rumah sakit. Aku pernah berada di rumah sakit untuk  selama hampir dua bulan, serta beberapa tahun rawat jalan dan terapi.

 

Aku masih ingat, di season 1 lalu, aku memilih scene di episode  di mana Kim Junwan datang ke pemakaman seorang pasien bayi yang diputuskan mengalami mati otak dan Junwan memohon kepada orang tua si bayi untuk mau mendonorkan jantung bayinya kepada pasien bayi lain yang sama kritisnya dan perlu donor jantung segera. Scene itu sangat emosional untukku dan penuh sesag, ditambah lagi dengan background music All My Tears yang dinyanyikan oleh Ikjun di latar belakang, rasanya makin menyayat. Dari scene itu aku bisa melihat sisi lain seorang Kim Junwan yang biasanya galak, cerewet, nan ketus menjadi sosok yang sangat perhatian dan penuh empat serta simpati walau tindakan itu tidak dilakukan untuk membangun imej, tapi murni bentuk kepedulian, sebuah sisi lain dari diri seorang Kim Junwan. Tapi lebih dari itu, di scene itu aku melihat perjuangan seorang ibu, lebih tepatnya dua orang ibu dari dua anak yang berbeda. Salah seorang ibu harus merelakan kematian bayinya setelah berjuang sekian lama, bahkan dia dengan berat sekaligus besar hati merelakan jantung bayinya untuk didonorkan. Serta seorang ibu lain yang berjuang mati-matian pula untuk anaknya agar tetap hidup hingga akhirnya mendapat donor jantung.

 

Pengalaman menjalani perawatan di rumah sakit sekian lama membuatku memandang sosok ibu—khususnya, dan orang tua umumnya— dalam memperjuangkan kesembuhan untuk anak-anaknya itu adalah sebuah perjuangan hidup yang teramat .... aku tidak tahu harus menyebutnya bagaimana, aku kehilangan kata-kata. Satu yang jelas, sebuah perjuangan yang mungkin tidak akan sama efelnya jika posisinya dibalik.
Bahkan tak jarang aku merasa iri pada bayi-bayi, anak-anak, atau pasien lain yang ditunggui ibunya selama menjalani perawatan, sedangkan saat itu aku menjalani perawaan sebelum operasi sendirian, tanpa ibu, tanpa orang tua di sisiku karena satu dan lain hal, selama lima minggu.

 

Dan kisah nostalgia itu kembali terulang di episode kemarin. Lagi-lagi kisah perjuangan dua ibu untuk anaknya. Ada dua orang ibu, anaknya sama-sama pasien Kim Junwan, dan mereka masih balita. Salah seorang ibu lebih berpengalaman dari yang satunya karena anaknya sudah lebih lama dirawat di rumah sakit. Si ibu yang lebih berpengalaman itu nampak sangat tegar dan selalu optimis, dia sering menyemangati ibu satunya—yang anaknya baru saja didiagnosa penyakitnya dan menerima perawatan ini itu— dengan penuh optimisme, berbagi pengalaman tentang perawatan apa saja yang akan dilalui anak-anak mereka, menenangkan si ibu “baru” jika ada hal-hal yang tampak membuatnya down, bahkan membawakan dan berbagi makan. Si ibu yang berpengalaman bahkan membagikan pikirannya tentang merawat anak-anak merekan dan mengibaratkan diri mereka sebagai atlet maraton yang sedang berlari untuk mencapai garis finis.

 

Singkat cerita, di episode kemarin anak si ibu “baru” mendapat keajaiban, dia mendapatkan donor jantung dan dapat segera dioperasi. Si ibu, dan ayahnya tentu saja sangat bahagia. Orang tua-orang tua lainnya juga memberi selamat, tak terkecuali si ibu berpengalaman. Ada kelegaan dan secercah kebahagiaan serta harapan yang terpancar di scene itu. Namun demikian, ada sisi lain yang terasa menyayat hatiku. Adalah si ibu berpengalan, dia menangis sendirian di taman rumah sakit, menangis dengan amat sangat keras. Junwan dan Jaehak melihat hal itu dan mereka memutuskan untuk tidak megganggu si ibu. Walau tanpa kata, aku tahu bahwa bagi si ibu yang berpenglaman itu pun semua perjuangnnya pun sangat berat. Dia menyimpan harap dan kekhawatiran yang sama besarnya. Dia pasti juga menantikan kapan anaknya akan dapat donor. Di balik sikan optimisnya, ada kekedihan dan mungkin keputusasaan yang coba ia kubur karena ia yakin keajaiban juga akan datang untuk anaknya.

 

Oh ya, ada satu lagi kisah seorang ibu yang sangat menyayat hatiku. Di season pertama, anak ibu itu telah meninggal setelah menghabiskan hampir keseluruhan dari tiga tahun hidupnya di rumah sakit. Dan di season kedua ini, si ibu diceritakan kerap memgunjungi rumah sakit, sekedar untuk mampir atau membagikan sesuatu, sampai-sampai ada yang mencurigai ibu ini sedang berusaha untuk menuntut rumah sakit dan datang untuk mengumpulan bukti.

Namun Ahn JeongWon menangkap maksud si ibu ini dengan tepat. Si ibu hanya sangat merindukan dan ingin membicarakan anaknya yang sudah meninggal, dia tidak punya tempat lain atau orang lain yang mengingat anaknya selain orang-orang dari rumah sakit itu karena anaknya memang menghabskan hampir seluruh hidupnya di rumah sakit.

 

Ahh, batapa, aku sangat tersentuh dengan sedikit potret perjuangan ibu-ibu dan orang tua pada umumnya yang dipotret dalam dtama ini. Apa yang kutuliskan ini hanya sebagian, masih banyak laagi kisah kemanisan dan kasih seorang ibu dan orang tua yang dipotret di sini. Pun banyak juga kisah-kisah lain yang mungkin sangat relate dengan keidupan sehari-hari yang mungkin bisa kita temui dalam situasi di rumah sakit.[*]

Tentang Membangun Kebiasaan Kecil-Kecil

 Memasuki bulan Desember tahun 2022, saya sempat berfikir dan bertekat: tahun depan harus punya peningkatan atau self improvement , setidakn...